OAP Menjadi Tuan Di Atas Negerinya Sendiri melalui UU OTSUS adalah Harapan Palsu
ilustrasi gambar. Sumber: suara papua
Oleh: Selpius Bobii
*Koordinator Jaringan Doa Rekonsiliasi untuk Pemulihan Papua (JDRP2)
Slogan “Orang asli Papua menjadi tuan di atas negerinya sendiri ” adalah sebuah harapan palsu yang dilahirkan oleh kaki tangan NKRI. Tujuannya agar orang asli Papua menerima paket politik “Otonomi Khusus”, dengan harapan bahwa orang asli Papua akan memimpin dan sejahtera di tanah leluhurnya dalam bingkai NKRI. Slogan ini dikampanyekan secara konsisten dan masif oleh para kaki tangan NKRI, baik mereka yang ada dalam sistem pemerintahan maupun mereka yang berada di luar sistem Pemerintah Indonesia.
Paket politik UU OTSUS Papua bukan lahir atas dasar kemauan orang asli Papua, tetapi paket ini adalah kemauan Negara Indonesia. Tujuan pemberlakuan UU OTSUS Papua adalah untuk meredam aspirasi politik Papua merdeka dan mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI.
Rencana pemberlakuan UU OTSUS Papua sudah mulai diwacanakan oleh elit Jakarta sejak kepemimpinan Presiden Habibie sebelum bertemu dengan Tim 100 yang dipimpin Bapak Almarhum Thom Beanel pada tahun 1999. Dalam kesempatan itu, Tim 100 Papua meminta merdeka berpisah dari NKRI . Di bawah ini pernyataan resmi bangsa Papua melalui Tim 100 yang dibacakan di depan presiden B.J. Habibie di Jakarta pada senin 26 Februari 1999:
“Bahwa permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irian Jaya) sejak tahun 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada tanggal 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara bangsa bangsa lain di muka bumi.
Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik bagi sebuah harapan dan cita-cita masa depan Bangsa Papua Barat. Namun telah dianeksasi oleh Negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun bangsa Papua Barat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka pada hari jumat, 26 Februari 1999, kepada presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa : Pertama kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi. Kedua, segera membentuk Pemerintahan Peralihan di Papua Barat di bawah pengawasan perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggung jawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999. Ketiga jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua, maka :
( 1) Segera adakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan tidak ikut-serta dalam pemilihan umum Republik Indonesia tahun 1999.
Demikian pernyataan politik ini di buat dan disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta, pada tanggal 26 Februari 1999, atas nama Bangsa Papua Barat”.
Materi yang disiapkan oleh presiden tentang Otonomi Khusus Papua tidak disampaikan pada kesempatan itu, karena Tim 100 Papua sudah terlebih dahulu menyampaikan keinginannya untuk merdeka berpisah dari Indonesia. Setelah mendengar aspirasi Masyarakat Papua, Presiden Republik Indonesia yang ketiga, B.J.Habibie menjawab dengan singkat: ’ aspirasi yang anda sampaikan itu penting, tetapi mendirikan Negara bukan perkara mudah, pulang dan renungkan kembali aspirasi itu “.
Setelah kembali pulang, Tim 100 ada yang kembali bertemu presiden Gusdur dan menyerahkan hasil renungannya bahwa bangsa Papua sudah siap merdeka berpisah dari NKRI. Tetapi presiden Gusdur mengatakan bahwa “Monggo silakan, kalian mau apa silakan, tetapi dengan syarat tetap di atas meja NKRI dan tetap berdialog.”
Baik dalam pertemuan pertama Tim 100 dengan presiden B.J. Habibie maupun pertemuan dengan presiden Gusdur belum ada kesepakatan soal UU OTSUS Papua. Dengan demikian paket UU OTSUS Papua bukan merupakan hasil konsensus bersama antara Negara Indonesia dan bangsa Papua.
Walaupun bangsa Papua menolak paket politik Jakarta itu dalam berbagai gelombang aksi, tetapi UU OTSUS Papua paksa diterapkan oleh Negara Indonesia di Tanah Papua atas kerjasama segelintir orang asli Papua yang haus harTA, tahTA dan waniTA idaman . Ada beberapa orang dari Tim 100 Papua menjadi pion Jakarta untuk mensukseskan UU OTSUS Papua. Salah satunya adalah mantan gubernur almarhum Jaap Solossa. Kemauan Jakarta sukses melalui para pionnya sehingga sebagai imbalannya, almarhum Solossa dipercayakan menjadi gubernur pertama di era Otsus Papua.
Slogan “orang asli Papua menjadi tuan di atas negerinya sendiri” yang dikampanyekan oleh para pion Jakarta itu kini sudah tidak terbukti. Di antara para pion Jakarta itu kini sudah menjadi almarhum, antara lain: Jaap Solossa yang jadi Tim sukses Otsus, mantan Rektor Uncen (Wospakrik) yang memimpin perumusan draf UU OTSUS Papua, dan lain lain.
Dalam kerangka memaksakan UU OTSUS Papua, almarhum Jaap Solossa pernah menulis tesis masternya (S2) yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Otonomi khusus Papua : mengangkat martabat rakyat Papua di dalam NKRI”.
Apa yang terjadi dengan penerapan UU OTSUS Papua hingga hari ini? Roh dari UU OTSUS adalah keberpihakan, pemberdayaan dan perlindungan kepada orang asli Papua. Tetapi ketiga hal yang menjadi roh dari OTSUS itu tidak terwujud.
Misalnya, Papua menjadi provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) paling rendah di Indonesia pada 2023, yakni 62,25 poin. Angka kemiskinan juga tinggi. Provinsi Papua adalah salah satu yang paling mencolok dalam daftar provinsi termiskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan mencapai 26,80% dan propinsi Papua Barat, yang memiliki tingkat kemiskinan sekitar 21,43%. Buta huruf masih banyak adalah propinsi Papua yaitu 18,81%. Kematian orang asli Papua juga semakin meningkat di era Otsus di Tanah Papua. Dengan demikian pemberdayaan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan, serta perlindungan terhadap orang asli Papua di era OTSUS jauh dari harapan .
Selain itu, tidak ada kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah Propinsi untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai amanat UU OTSUS Papua. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah penggunaan dana Otsus, kewenangan lain tidak ada .
Keberadaan kehidupan orang asli Papua di era Otsus Papua jauh lebih parah ketimbang sebelum penerapan UU OTSUS Papua diterapkan. Pusat pusat ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya, baik dalam sistem pemerintahan maupun di luar sistem pemerintahan sudah dikuasai oleh warga pendatang (amber). Orang asli Papua semakin menjadi minoritas, di marginalisasi, dimiskinkan, depopulasi dan semakin musnah di atas tanah leluhurnya .
Buku berjudul “Otonomi khusus Papua: mengangkat martabat rakyat Papua di dalam NKRI” sudah tidak terbukti, baik dari sisi keilmuannya, juga dalam kenyataannya di lapangan jauh dari harapan.
Slogan “orang asli Papua menjadi TUAN di atas negerinya sendiri melalui UU OTSUS dalam bingkai NKRI” sudah terbukti gagal. Karena itu, jangan ada lagi orang asli Papua yang mengkampanyekan atau menggaungkan slogan ini lagi. STOP! Slogan ini hanyalah menjadi isapan jempol belaka. Slogan ini sudah terbukti menjadi harapan palsu bagi orang asli Papua .
Untuk menuntaskan segala permasalahan di Tanah Papua, lebih khusus status politik bangsa Papua, Negara Indonesia harus dengan jiwa besar menggelar PERUNDINGAN dengan bangsa Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral untuk membahas tuntas dan menemukan solusi final dalam kerangka memutuskan mata rantai ketidak-adilan demi menegakkan martabat manusia di atas segala kepentingan.
Akhirnya: ” SATU RAKYAT SATU JIWA SIAPKAN JALAN TUHAN “
Jayapura, 16 Januari 2024